Rifki berdiri tegak di salah satu sudut
kafe. Dari balik kacamata minusnya, ia menyapu seluruh bagian ruangan berukuran
lima belas kali dua puluh meter itu. Empat orang pelayan hilir mudik memenuhi
pesanan pelanggan. Mencatat permintaan mereka dan mengantarkan makanan serta minuman.
Seorang pelayan perempuan sedang menambahi makanan yang ada di meja buffet. Sementara
seorang lagi sibuk mengangkat piring dan gelas kotor.
“Iyan, tolong bersihkan meja nomor lima
belas,” pintanya halus pada salah seorang pelayan, ketika melihat ada meja yang
belum dibersihan. Pelayan bernama Iyan itu bergegas membenahi meja yang
ditunjuk Rifki.
Suasana Kafe Dear cukup ramai meski
hujan kian deras. Beberapa pengunjung memilih duduk berlama-lama di dalam kafe
yang dilengkapi pendingin ruangan itu, dibandingkan kembali ke kantor dan
terkena empasan air hujan di luar sana. Suara musik yang mengalun merdu,
seringkali membuat mereka lupa waktu. Sambungan wifi juga melenakan mereka.
Rifki tersenyum sendiri.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
beringsut dari tempatnya berdiri lalu duduk di belakang meja kerjanya. Meja
yang dikelilingi oleh bunga-bunga tinggi, di salah satu sudut ruang di sebelah
dapur. Laptopnya menyala, dengan laporan dan grafik penjualan terbaca di
layarnya. Mouse warna hitam, berukuran mungil terletak di sebelah kanan, sesekali
berkedip lampunya.
Rifki sengaja menempatkan meja itu di
sana. Tempat yang strategis untuk mengamati seluruh aktifitas orang-orang, baik
pelayan maupun pengunjung kafenya. Letaknya yang tersembunyi, membuat orang
lain harus berusaha lebih keras untuk berbalik melihatnya.
Rifki bersandar ke kursi. Diputarnya
kursi warna biru itu ke kanan dan kiri, saat mempelajari laporan penjualan
beberapa bulan ini. Sejak Dear diserahkan Bunda kepadanya, ia berusaha disiplin
mencatat setiap perkembangan yang terjadi. Baik dari sisi manajemen maupun
keuangan. Beruntung ia mendapatkan semua ilmu itu semasa kuliah.
Sesekali matanya kembali mengamati
aktivitas pengunjung. Sekian meja yang disediakan, hanya dua yang kosong.
Lainnya penuh terisi sekelompok orang
atau para pasangan berbagai usia. Hanya ada dua orang yang tampak sendirian,
sibuk dengan gadget dan makanan di
piring.
Sebagian besar dari para pengunjung itu
adalah pelanggan tetap. Beberapa di antaranya orang-orang baru. Semuanya
terlihat menikmati santapannya. Melihat wajah-wajah sumringah dan cara pengunjung
makan, Rifki menyimpulkannya sebagai tanda kepuasan pelanggan.
Rifki menoleh ke arah pintu utara. Serombongan
gadis berbaju hijau muda bercelana hitam, muncul dari balik pintu. Derai tawa dan
teriakan manja membuat hampir seluruh mata memandang ke arah mereka.
“Geng ceriwis,” desisnya.
Rifki menamai demikian karena sepanjang
di kafe, para gadis itu tak akan berhenti bicara dan tertawa. Sepertinya,
apapun akan menjadi lucu bagi mereka. Selain itu, mereka juga tak pernah absen
menanyakan keberadaannya pada Dion, kasir kafe. Lalu, jika ia ada, mereka akan kembali
ke kantor beberapa menit menjelang jam istirahat habis. Hanya untuk
menungguinya menggantikan Dion yang sedang sholat. Selanjutnya mereka akan
berebut untuk membayar lebih dulu, dengan alasan hampir telat masuk kantor.
Rifki tersenyum simpul mengingat setiap
kelakukan para gadis itu.
Ia teringat saat kuliah dan menghadapi
hal yang hampir sama. Teman-teman perempuan juga seringkali mencari
perhatiannya. Menanyakan kabar setiap kali berjumpa, meminta diajari presentasi
ini dan itu, meminta sekelompok dengannya, hingga melakukan tindakan konyol
lain, sekedar untuk dekat dengannya.
Sayangnya Rifki tak pernah tertarik pada
seorang pun di antara mereka. Yang terpenting baginya waktu itu adalah lulus
kuliah dengan cepat dengan prestasi terbaik. Dan Rifki berhasil meraihnya.
Mungkin karena itulah banyak yang
menyayangkan keputusannya untuk mengelola kafe ini. Mereka bilang, peluang
Rifki untuk sukses di luar sana jauh lebih besar.
“Posisimu juga lebih keren, Rif,” ucap
Bita suatu hari, ketika menawarinya untuk bekerja di perusahaan milik papanya.
Rifki menolaknya dengan halus.
Ia bersikukuh untuk mengelola Dear yang
sudah hampir ditinggalkan Bunda.
“Bunda memang sayang sama Dear. Kafe itu
yang membantu perekonomian kita saat Ayah sekolah lagi dan kalian masih
kecil-kecil. Kafe yang penuh kenangan yang Bunda dirikan sepenuh cinta. Tapi
sekarang anak-anak Bunda sudah besar. Mbak Rikha sibuk dengan mengajarnya, dan
Mbak Iza sibuk dengan butiknya. Enggak mungkin, kan, Bunda meminta kamu untuk
mengelolanya? Kamu, kan, anak laki-laki. Itulah sebabnya Bunda berpikir untuk
menjual Dear pada Mama Dira, sahabat Bunda. Biar Dear kian berkembang dan terus
membesar,” jelas Bunda hari itu.
“Tapi nanti Dear akan diganti nama
menjadi Kedai Kek Mama Dira, Bun,” Rifki memberi pertimbangan.
“Tak apalah, Rif. Yang penting Dear
pernah ada. Kalau soal ganti nama, apa artinya?” pungkas Bunda.
Maka beberapa menit kemudian, ia mengungkapkan
sebuah keputusan yang luar biasa. Rifki menawarkan diri untuk mengelola kafe
itu. Bunda terperanjat, senang sekaligus khawatir.
“Bunda senang mendengarnya, Rif. Tapi
pasti Ayah tidak setuju. Lagian, ini kafe, lho Nak. Bukan perusahaan yang keren
seperti impian anak-anak muda jaman sekarang. Kamu harus paham seluk belum
makanan,” ungkap Bunda.
“Rifki tahu, Bun. Rifki kan sudah sering
ikut Bunda ke kafe. Insya Allah, Rifki mampu. Lagian, kan ada Bunda yang akan
terus mendampingi Rifki. Bunda yang akan memastikan kualitas masakannya tetap
sama seperti dulu, oke?” seru Rifki optimis.
Dan malam harinya, mereka berdua
mengungkapkan hal itu pada Ayah.
“Rifki, ditelepon dari tadi kok enggak
diangkat, Sayang? Bunda mau tanya sesuatu,” tiba-tiba Bunda sudah ada di
sampingnya. Merangkul pundaknya sambil memerhatikan layar laptop Rifki.
“Maaf, Bun. HP Rifki silent. Mengapa Bunda tidak menelepon ke
kafe saja?”
“Bunda paham kamu, Sayang. Kamu, kan,
paling enggak mau membicarakan soal pribadi dengan telepon kafe,” tukas Bunda
sembari membetulkan kerudung ungu mudanya. Di usia menjelang lima puluh lima,
Bunda tetap tampak cantik dan awet muda.
“Ngomong-ngomong, Bunda mau tanya apa?”
“Eh, beneran Bunda boleh bicara di sini?”
Bunda celingukan. Seolah takut terdengar orang lain. Melihat tak ada seorang
pun di dekatnya, Rifki mengangguk.
“Soal pertaruhanmu dengan Ayah! Kamu
serius?” Bunda berbisik.
Rifki tersenyum sebelum kembali
mengangguk.
“Tuh kan! Kamu pasti makin sibuk, deh,
sesudah ini. Lalu kapan Bunda dapat menantu, Rif?” Bunda setengah berteriak.
Tampak emosi melihat anggukan dan senyuman Rifki.
“Sabar, lah, Bun. Rifki masih dua puluh empat.
Masak udah sibuk disuruh kawin?”
“Ya, kalau enggak kawin, minimal
tunangan, kek. Tuh dua orang kakakmu juga menikah umur dua puluh empat. Bunda pengen
punya cucu dari kamu, Rif!”
“Bunda makin ngacau, deh. Menikah saja
belum sudah disuruh ngasih cucu. Nanti kalau dapat cucu di luar nikah, baru deh
tau,” celetuk Rifki asal, yang langsung dicubit Bundanya.
“Wis!
Kamu kalau ngomong ngawur, deh! Ada malaikat lewat, amit-amit, Rif! Bunda maunya
keturunan yang baik-baik,” Bunda sewot. Rifki tersenyum lebar.
“Habis Bunda, sih. Sudahlah, Bun. Yang
penting sekarang, doakan Rifki bisa membuktikan ke Ayah kalau pilihan Rifki
benar. Penjualan Dear dalam satu tahun ke depan, minimal tiga kali lipat lebih
besar dari tahun lalu. Terus, dua tahun ke depan sudah punya cabang di tempat
lain,” ujar Rifki optimis. Dielusnya pundak Bunda dengan lembut.
“Terus, kamu menikahnya kapan?” Bunda
menatap dengan pandangan memelas.
“Ya nanti, Bun. Kalau sudah ada
calonnya,” seru Rifki acuh. Ia mengangat tangannya menyerupai gerakan orang
sholat dan pergi ke mushola di samping kafe. Bunda membuntutinya sambil
cemberut.
Usai sholat, Rifki biasa menggantikan
Dion. Memberikan kesempatan pada kasirnya yang lulusan SMK Keuangan itu untuk
menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta.
“Mas Rifki, Farah makan nasi putih, cah
kangkung cumi, ayam goreng kunyit dan minumnya fresh melon. Berapa?” seorang gadis berambut lurus sebahu sudah
berada di depannya, begitu Rifki berdiri di belakang meja kasir.
Di belakang Farah ada empat gadis lain
yang berebut ke depan lebih dulu.
“Dua puluh lima, Farah. Terima kasih.”
Rifki menerima uang lima puluh ribu dari
tangan Farah, membuka laci mesin penghitung lalu mengangsurkan kembalian. Tanpa
senyum, hanya wajah yang dibuat seramah mungkin.
Selanjutnya giliran Desti, Vero, Torry,
dan seorang gadis anggota baru kelompok itu yang tidak menyebutkan namanya.
“Saya nasi goreng seafood,” ucapnya
pendek. Kepalanya lebih banyak menunduk.
“Minum?” Rifki bertanya singkat.
Mengamati gadis yang menurutnya aneh itu.
“Enggak, saya bawa air sendiri,”
jelasnya, kali ini memandang ke depan tapi bukan menatapnya. Rifki geli
mendengar penjelasan si gadis. Enggak
usah bilang, kali, serunya dalam hati.
Setelah membayar lunas tagihannya dan
mengucapkan terima kasih, para gadis itu pun pergi. Hingga di pintu keluar,
mereka masih beberapa kali menengok ke arahnya, kecuali seorang gadis yang
sedari tadi terlihat acuh.
Rifki mengalihkan perhatiannya pada
sepasang pelanggan yang sudah berdiri di depannya. Menghitung jumlah tagihan
dan melakukan tugasnya sebagai seorang kasir.
oOo
Malam kian larut ketika Rifki mengunci
kafenya. Ia melakukan gerakan membuka pintu beberapa kali, memastikan diri
bahwa pintu jati itu sudah tertutup rapat. Oakley di tangan menunjukkan pukul sebelas
lewat dua menit. Rifki menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.
Setelah bersalaman dengan Pak Tris,
satpam pertokoan, ia pamit dan berjalan menuju parkir. Bergegas ia membuka
pintu Toyota Corolla keluaran 1985. Mobil pertama keluarganya itu sengaja ia
pertahankan dan tetap dipakainya. Ia menolak tawaran Ayah untuk mengganti
mobilnya dengan yang lebih baru.
“Nanti saja, Yah…, kalau kafe kita sudah
makin besar, insya Allah, Rifki akan mengganti dengan uang hasil keringat
sendiri,” ucapnya malam itu, penuh keyakinan. Ayah tersenyum melihat anak
lelaki satu-satunya itu. Sementara Bunda malah mengomel, khawatir dengan keselamatan
anaknya karena kondisi mobil yang sudah semakin tua.
Semua pembicaraan mereka malam itu
menjadi pemacu semangatnya, hingga lelah tak pernah ia rasa.
Kini Rifki sudah menyusuri jalanan kota
Malang, berteman suara Koko, sahabat sekaligus penyiar radio favoritnya.
Melihat perkembangan Dear dua bulan ini,
Rifki semakin yakin bahwa ia mampu mewujudkan impiannya sesuai target. Hentakan
suara The Script featuring Will. I.Am seolah mewakili keyakinannya. Di dalam
mobil putih kesayangannya, Rifki ikut bernyanyi.
You can throw your hands up
You can beat the clock
You can move a mountain
You can break rocks
You can be a master
Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself
You can beat the clock
You can move a mountain
You can break rocks
You can be a master
Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself
Standing in the hall of fame
And the world's gonna know your
name
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)
Rifki tidak pernah menyalahkan keluarga
dan kawan-kawannya yang meragukan keputusannya untuk mengelola usahanya
sendiri. Resiko berkarier di luar sana memang lebih kecil. Ia pun tak perlu
bekerja sekeras sekarang. Tapi keputusannya sudah bulat. Dan ia akan
membuktikan pada dunia, bahwa suatu hari, ia akan dikenal orang.
Rifki memperlambat laju mobilnya. Ia
biarkan beberapa kendaraan mendahuluinya. Saat-saat seperti ini, adalah waktu santai
buatnya. Di persimpangan, Rifki memilih berbelok ke kanan, melalui Jalan Ijen.
Rute yang biasa ia ambil jika ingin sampai ke rumah lebih lama.
Beberapa meter memasuki tempat yang
biasa dijadikan lokasi Malang Tempo Doeloe itu, Rifki menghentikan mobilnya. Ia
seperti mengenali sosok yang sedang berdiri sambil mendekap map, di pinggir
jalan di depannya.
Rifki memicingkan mata, mencoba
mengingat-ingat gadis bertubuh semampai, berbaju hijau dan mengenakan rok hitam
panjang itu.
“Oh iya! Dia kan salah seorang anggota geng
ceriwis!” pekiknya, “ngapain dia di sini? Malam-malam begini? Bukannya
kantornya dekat Dear?” tanyanya pada diri sendiri.
Refleks Rifki meminggirkan mobilnya,
mematikan mesin dan turun.
“Kasihan. Pasti angkot yang
ditumpanginya balik ke rumah terus dia disuruh cari angkot lain. Dasar!” rutuk Rifki.
Bergegas ia melangkah mendekati gadis berkulit putih itu.
“Ehm, Mbak…, Mbak yang di kantor akuntan
publik dekat kafe Dear, kan? Yang tadi siang makan bareng teman-teman Mbak di
sana?” tanya Rifki langsung.
Perempuan itu mengangguk cepat hingga
rambutnya jatuh menutup dahi dan sebagian matanya. Buru-buru perempuan itu
segera membetulkan letak rambutnya.
“Ehm…, mengapa malam-malam begini masih
di sini?” tanya Rifki penasaran.
“Angkot saya pecah ban,” tuturnya dengan
suara yang sangat lirih. Jika tangan perempuan itu tak menunjuk ke arah angkot
di depannya, Rifki pasti bertanya lagi untuk memperjelas pendengarannya.
“Rumahnya di mana?” Rifki bertanya lagi,
“Ehm, maksud saya, bareng saya aja,” katanya kemudian. Entah mengapa, ia
menjadi sedikit gugup.
“Di daerah Arjosari, Mas,” gadis itu
menjawab tanpa mengangkat wajahnya.
“Di sini angkot susah, Mbak. Apalagi jam
segini. Kebetulan rumah saya juga di daerah sana. Yuk, ikut saja saja,” ajak
Rifki. Pada saat yang bersamaan, datang seseorang bermotor.
“Reha! Kok kamu masih di sini?” tanyanya,
tanpa memedulikan Rifki.
“Dewa?” Reha terbelalak.
“Eh, malah bengong. Kenapa atuh?” Dewa
tak sabar melihat sikap Reha.
“Iya, angkotku pecah ban,” jawab Reha
lebih kencang.
“Ayo atuh, bareng aku aja!” tanpa
meminta persetujuan, Dewa langsung mengulurkan helm ke tangan Reha. Beberapa
saat Reha tampak bimbang, sekilas ia bertatapan mata dengan Rifki tapi kemudian
duduk di jok motor Dewa. Dua orang itu
pun berlalu begitu saja, meninggalkan Rifki yang terdiam sendiri.
Rifki kembali ke mobil, menyalakannya
lalu menginjak gas kuat-kuat.
oOo
Reha menepuk pundak Dewa sesaat sebelum
masuk ke gang rumahnya.
“Turun sini saja, Wa,” teriaknya. Dewa
berhenti, tanpa mematikan mesin motornya.
“Loh, rumah kamu, kan, masih jauh, Re. Lagian
gang kamu, kan, lebar. Jadi motor boleh masuk, kan?” tanyanya protes. Sepertinya
ia masih ingin membonceng Reha lebih lama.
“Enggak, Wa. Aku ada perlu ke rumah
Budhe. Dekat sini, kok!” jawabnya. Kali ini Reha terpaksa harus berbohong. Ia
sangat tahu watak Dewa yang suka ngotot.
“Malam-malam begini? Yang bener, lu!”
sergah Dewa, seolah tahu kebohongan Reha. Tanpa menatap mata Dewa, Reha
mengangguk cepat.
“Euleuh, eta poni! Dipotong atuh, Neng.
Apa enggak sakit nyocok mata begitu?” ujarnya sok perhatian.
“Aku pamit dulu, ya, Wa. Thank’s a lot tumpangannya,” ucap Reha, langsung
membalikkan badannya. Ia pura-pura tak mendengar panggilan Dewa.
oOo
Rifki: Don’t judge a book by its cover
Hari ini capek banget! Kafe penuh hampir
sepanjang waktu. Alhamdulillah. Tapi badan rasanya mau rontok. Aku harus
kembali mengagendakan fitness supaya stamina tetap oke. Berarti minggu depan
harus telepon Koko untuk fitness bareng. Noted!
Oh iya, hari ini, ada yang berbeda
dengan geng ceriwis? Anggotanya bertambah satu. Keuntungan buat kafeku
pastinya, karena kemungkinan besar pelanggan kami juga nambah.
Ngomong-ngomong soal anggota baru,
barusan aku ketemu dengan dia.
Di Ijen, semalam ini, sendirian.
Melihat sikapnya, tadinya kupikir ia
pemalu. Gadis yang menganut paham no pacaran. Lihat pakaiannya yang tertutup,
enggak mau menatap lawan bicara, suara lembut, dan selalu nunduk. Apa coba?
Tapi begitu tuh cowok datang, eh, tanpa
basa basi dia langsung ngacir naik motor. Padahal aku sudah datang lebih dulu,
menawarkan diri untuk ngasih tumpangan. Hmm, jadi, don’t judge a book by its cover, ok?
Baiklah, lupakan tentang dia.
Kita bicara soal Dear sekarang.
Baru pertengahan bulan, penjualan reguler
sudah melebihi total penjualan bulan lalu. Ini pasti akan bertambah jika katering yang
pembayarannya akhir bulan dimasukkan juga. Alhamdulillah. Syukur Ya Allah!
Artinya, promosi yang gencar dilakukan
dua bulan belakangan mulai menunjukkan hasil. Pamflet yang disebar di
pertokoan, iklan di radio yang dibaca si Koko, juga testimoni penggemar di
facebook dan twitter.
Semoga yang kayak begini bisa terus
bertahan sampai tiga bulan ke depan dan seterusnya. Biar bisa memenangkan
pertaruhan dengan Ayah. Soal keinginan Ayah, sebenarnya aku juga pengen, sih, kuliah
lagi. Tapi aku maunya biaya sendiri. Syukur kalau ada beasiswa. Kalau tidak,
aku mau kuliah setelah Dear bisa dilepas dan dikendalikan dari jauh. Semoga dua
tahun ke depan semua itu bisa terwujud, aamiin.
Nah, sekarang soal taruhan. Tadi siang selepas
sholat, tiba-tiba Bunda dapat ide yang menggelikan. Bunda ikut-ikutan Ayah,
mengajakku taruhan. Bunda bilang, kalau dalam satu tahun ke depan aku belum
menikah, atau minimal memperkenalkan seorang calon menantu pada beliau, maka
Bunda akan langsung turun tangan. Whoa! Ha ha ha. Bunda ada-ada saja. Padahal dua
tahun ini aku masih pengen konsentrasi mengurusi Dear.
Nanti aja, deh, dipikir soal permintaan
Bunda. Sekarang rehat dulu, biar besok bisa bangun lebih pagi.
oOo
Reha: a hectic day!
Hari ini aku pulang telat. Banyak
pekerjaan yang harus kutangani di kantor karena Melur sakit. Haduuh, tuh anak. Kalau
ninggalin pekerjaan kira-kira, deh. Masak ditumpuk begitu? Pas menjelang deadline, pake sakit pula. Tapi enggak
apa, deh. Toh semua sudah kelar sekarang. Ambil baiknya saja. Aku kan jadi
nambah pengalaman, he he he.
Nah, pas pulang, angkot pecah baaann!
Hiks, rasanya campur aduk, antara kasihan dan sebel. Kasihan karena pak
sopirnya sudah sepuh. Enggak tega lihatnya.
Tapi sebel juga, sudah tahu bannya halus begitu, eh, enggak diganti juga. Dah
gitu enggak ada cadangan ban, pula! Nekat kan? Akhirnya kami semua diturunkan
di Ijen. Diturunkan hanya dengan permintaan maaf. Duh! Karena kasihan, kami
semua membayar penuh meski belum sampai tujuan.
Ijen malam-malam begitu, tahu sendiri,
kan, kayak apa? Sepi, bo! Angkot munculnya kayak jaelangkung, sesuka hati
mereka. Sejam satu pun, enggak ada jaminan!
Dah gitu, enam penumpang yang bareng aku
langsung ngontak keluarga dan teman masing-masing. Dalam hitungan menit, semua
sudah dijemput. Tinggallah aku sendiri. Celingak celinguk kayak kambing congek.
Pengen nangis rasanya! Mau nelepon, enggak tahu ke siapa. Ke adik-adik di
rumah, mereka semua pasti dah molor jam segitu. Nelepon cowok, enggak punya.
Teman…, para cewek itu, sama parnonya sama aku. Pasti enggak ada yang mau, deh,
jemput aku di sana.
Untunglah, akhirnya datang seseorang. Dia
nanya-nanya sok akrab gitu. Kayak udah pernah ketemu. Dan dia tahu, lho, aku
kerja di Bu Anita. Dia bilang, kantorku dekat kafe Dear. Pasti dia salah
seorang pelayan di sana, deh! Ketahuan, mobilnya butut, hi hi hi.
Nah, pas aku mau jalan ke mobil
putihnya, ada Dewa. Itu tuh, asisten Pak Satria, orang bagian non-atestasi1).
Tadinya aku bingung antara ikut tuh cowok apa Dewa. Tapi kupikir, yang lebih
kukenal, kan, si Dewa ini. Lebih baik aku pulang bareng dia. Daripada
diapa-apain sama tuh cowok, hiii, serem!
Tapi pas di jalan, di atas motor Dewa,
aku jadi kepikiran sama dia. Wajahnya melas banget saat aku tinggalkan. Kayak gimana,
gitu. Aku mungkin salah, kali, ya. Enggak pamitan pula sama dia. Wah, pasti dia
sudah berprasangka buruk, deh, sama aku. Ah, biarin lah. Toh enggak akan ketemu
ini. Besok dan seterusnya, aku janji, enggak akan bangun telat lagi. Biar bisa
masak pagi-pagi dan bawa makan siang dari rumah. Jadi enggak perlu ke kafe
untuk makan siang. Jadi…, enggak perlu ketemu dia lagi. Beres, kan?
Nah, soal Dewa sekarang.
Aku sekarang menyesal banget karena ikut
dia tadi. Pasti dia dah menyangka yang bukan-bukan. Jangan-jangan, dia kira aku
suka sama dia. Ih, amit-amit!
Kata Sasya, teman seruangannya, Dewa tuh
playboy kelas teri. Sering nerima telepon dari cewek yang berbeda. Kasihan para
cewek itu. Kok mau-maunya mereka digombalin sama Dewa, ya? Kata Sasya lagi, dia paling penasaran
sama cewek cuek kayak aku. Aku? Wahaha, aku bukan cuek. Emang bawaan dari
sononya, ya begini, ini. Susah, ya, kalau sudah bawaan orok. Mau bisa narik
perhatian cowok lain aja, rasanya kakuuu banget. Ngomong depan cowok, rasanya
kelu.
Kayak tadi siang, waktu ke Dear. Semua
ngomongin Rifki, pemilik kafe. Katanya keren, cool! Si pendiam yang kalau senyum, bisa bikin cewek mau pingsan.
Torry mengajak kami menunggu sampai
saatnya Rifki menggantikan kasirnya. Bener, deh. Lalu mereka pun berebut pengen
duluan. Tadinya aku mau coba-coba ikutan, tapi kupikir lagi, enggak ada
manfaatnya. Ya udah, lebih baik aku antri paling belakang. Lagian, cowok kayak
Rifki, pasti sukanya sama cewek perfect. Enggak mungkin suka sama aku yang
begini, ho ho ho.
Akhirnya, karena malas diomongin ikut nyari
perhatian si Rifki, pas di depan kasir aku nunduk aja. Lihat depan pun, enggak
lihat dia. Aku cuma ingat kalau Rifki tadi berkemeja biru, terus rambutnya
cepak. Tinggi besar, kayak Almarhum Mas Reno.
Loh, kok aku malah ngomongin orang Dear
lagi, sih?
Udah, ah! Bobo!
oOo
1) Jasa
non-atestasi, mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan,
manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi (Wikipedia).