Sunday 10 February 2013

BAB I --Tugas Kajol--



Rifki berdiri tegak di salah satu sudut kafe. Dari balik kacamata minusnya, ia menyapu seluruh bagian ruangan berukuran lima belas kali dua puluh meter itu. Empat orang pelayan hilir mudik memenuhi pesanan pelanggan. Mencatat permintaan mereka dan mengantarkan makanan serta minuman. Seorang pelayan perempuan sedang menambahi makanan yang ada di meja buffet. Sementara seorang lagi sibuk mengangkat piring dan gelas kotor.
“Iyan, tolong bersihkan meja nomor lima belas,” pintanya halus pada salah seorang pelayan, ketika melihat ada meja yang belum dibersihan. Pelayan bernama Iyan itu bergegas membenahi meja yang ditunjuk Rifki.
Suasana Kafe Dear cukup ramai meski hujan kian deras. Beberapa pengunjung memilih duduk berlama-lama di dalam kafe yang dilengkapi pendingin ruangan itu, dibandingkan kembali ke kantor dan terkena empasan air hujan di luar sana. Suara musik yang mengalun merdu, seringkali membuat mereka lupa waktu. Sambungan wifi juga melenakan mereka.
Rifki tersenyum sendiri.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu beringsut dari tempatnya berdiri lalu duduk di belakang meja kerjanya. Meja yang dikelilingi oleh bunga-bunga tinggi, di salah satu sudut ruang di sebelah dapur. Laptopnya menyala, dengan laporan dan grafik penjualan terbaca di layarnya. Mouse warna hitam, berukuran mungil terletak di sebelah kanan, sesekali berkedip lampunya.
Rifki sengaja menempatkan meja itu di sana. Tempat yang strategis untuk mengamati seluruh aktifitas orang-orang, baik pelayan maupun pengunjung kafenya. Letaknya yang tersembunyi, membuat orang lain harus berusaha lebih keras untuk berbalik melihatnya.
Rifki bersandar ke kursi. Diputarnya kursi warna biru itu ke kanan dan kiri, saat mempelajari laporan penjualan beberapa bulan ini. Sejak Dear diserahkan Bunda kepadanya, ia berusaha disiplin mencatat setiap perkembangan yang terjadi. Baik dari sisi manajemen maupun keuangan. Beruntung ia mendapatkan semua ilmu itu semasa kuliah.
Sesekali matanya kembali mengamati aktivitas pengunjung. Sekian meja yang disediakan, hanya dua yang kosong. Lainnya penuh  terisi sekelompok orang atau para pasangan berbagai usia. Hanya ada dua orang yang tampak sendirian, sibuk dengan gadget dan makanan di piring.
Sebagian besar dari para pengunjung itu adalah pelanggan tetap. Beberapa di antaranya orang-orang baru. Semuanya terlihat menikmati santapannya. Melihat wajah-wajah sumringah dan cara pengunjung makan, Rifki menyimpulkannya sebagai tanda kepuasan pelanggan.
Rifki menoleh ke arah pintu utara. Serombongan gadis berbaju hijau muda bercelana hitam, muncul dari balik pintu. Derai tawa dan teriakan manja membuat hampir seluruh mata memandang ke arah mereka.
“Geng ceriwis,” desisnya.
Rifki menamai demikian karena sepanjang di kafe, para gadis itu tak akan berhenti bicara dan tertawa. Sepertinya, apapun akan menjadi lucu bagi mereka. Selain itu, mereka juga tak pernah absen menanyakan keberadaannya pada Dion, kasir kafe. Lalu, jika ia ada, mereka akan kembali ke kantor beberapa menit menjelang jam istirahat habis. Hanya untuk menungguinya menggantikan Dion yang sedang sholat. Selanjutnya mereka akan berebut untuk membayar lebih dulu, dengan alasan hampir telat masuk kantor.
Rifki tersenyum simpul mengingat setiap kelakukan para gadis itu.
Ia teringat saat kuliah dan menghadapi hal yang hampir sama. Teman-teman perempuan juga seringkali mencari perhatiannya. Menanyakan kabar setiap kali berjumpa, meminta diajari presentasi ini dan itu, meminta sekelompok dengannya, hingga melakukan tindakan konyol lain, sekedar untuk dekat dengannya.
Sayangnya Rifki tak pernah tertarik pada seorang pun di antara mereka. Yang terpenting baginya waktu itu adalah lulus kuliah dengan cepat dengan prestasi terbaik. Dan Rifki berhasil meraihnya.
Mungkin karena itulah banyak yang menyayangkan keputusannya untuk mengelola kafe ini. Mereka bilang, peluang Rifki untuk sukses di luar sana jauh lebih besar.
“Posisimu juga lebih keren, Rif,” ucap Bita suatu hari, ketika menawarinya untuk bekerja di perusahaan milik papanya. Rifki menolaknya dengan halus.
Ia bersikukuh untuk mengelola Dear yang sudah hampir ditinggalkan Bunda.
“Bunda memang sayang sama Dear. Kafe itu yang membantu perekonomian kita saat Ayah sekolah lagi dan kalian masih kecil-kecil. Kafe yang penuh kenangan yang Bunda dirikan sepenuh cinta. Tapi sekarang anak-anak Bunda sudah besar. Mbak Rikha sibuk dengan mengajarnya, dan Mbak Iza sibuk dengan butiknya. Enggak mungkin, kan, Bunda meminta kamu untuk mengelolanya? Kamu, kan, anak laki-laki. Itulah sebabnya Bunda berpikir untuk menjual Dear pada Mama Dira, sahabat Bunda. Biar Dear kian berkembang dan terus membesar,” jelas Bunda hari itu.
“Tapi nanti Dear akan diganti nama menjadi Kedai Kek Mama Dira, Bun,” Rifki memberi pertimbangan.
“Tak apalah, Rif. Yang penting Dear pernah ada. Kalau soal ganti nama, apa artinya?” pungkas Bunda.
Maka beberapa menit kemudian, ia mengungkapkan sebuah keputusan yang luar biasa. Rifki menawarkan diri untuk mengelola kafe itu. Bunda terperanjat, senang sekaligus khawatir.
“Bunda senang mendengarnya, Rif. Tapi pasti Ayah tidak setuju. Lagian, ini kafe, lho Nak. Bukan perusahaan yang keren seperti impian anak-anak muda jaman sekarang. Kamu harus paham seluk belum makanan,” ungkap Bunda.
“Rifki tahu, Bun. Rifki kan sudah sering ikut Bunda ke kafe. Insya Allah, Rifki mampu. Lagian, kan ada Bunda yang akan terus mendampingi Rifki. Bunda yang akan memastikan kualitas masakannya tetap sama seperti dulu, oke?” seru Rifki optimis.
Dan malam harinya, mereka berdua mengungkapkan hal itu pada Ayah.
“Rifki, ditelepon dari tadi kok enggak diangkat, Sayang? Bunda mau tanya sesuatu,” tiba-tiba Bunda sudah ada di sampingnya. Merangkul pundaknya sambil memerhatikan layar laptop Rifki.
“Maaf, Bun. HP Rifki silent. Mengapa Bunda tidak menelepon ke kafe saja?”
“Bunda paham kamu, Sayang. Kamu, kan, paling enggak mau membicarakan soal pribadi dengan telepon kafe,” tukas Bunda sembari membetulkan kerudung ungu mudanya. Di usia menjelang lima puluh lima, Bunda tetap tampak cantik dan awet muda.
“Ngomong-ngomong, Bunda mau tanya apa?”
“Eh, beneran Bunda boleh bicara di sini?” Bunda celingukan. Seolah takut terdengar orang lain. Melihat tak ada seorang pun di dekatnya, Rifki mengangguk.
“Soal pertaruhanmu dengan Ayah! Kamu serius?” Bunda berbisik.
Rifki tersenyum sebelum kembali mengangguk.
“Tuh kan! Kamu pasti makin sibuk, deh, sesudah ini. Lalu kapan Bunda dapat menantu, Rif?” Bunda setengah berteriak. Tampak emosi melihat anggukan dan senyuman Rifki.
“Sabar, lah, Bun. Rifki masih dua puluh empat. Masak udah sibuk disuruh kawin?”
“Ya, kalau enggak kawin, minimal tunangan, kek. Tuh dua orang kakakmu juga menikah umur dua puluh empat. Bunda pengen punya cucu dari kamu, Rif!”
“Bunda makin ngacau, deh. Menikah saja belum sudah disuruh ngasih cucu. Nanti kalau dapat cucu di luar nikah, baru deh tau,” celetuk Rifki asal, yang langsung dicubit Bundanya.
Wis! Kamu kalau ngomong ngawur, deh! Ada malaikat lewat, amit-amit, Rif! Bunda maunya keturunan yang baik-baik,” Bunda sewot. Rifki tersenyum lebar.
“Habis Bunda, sih. Sudahlah, Bun. Yang penting sekarang, doakan Rifki bisa membuktikan ke Ayah kalau pilihan Rifki benar. Penjualan Dear dalam satu tahun ke depan, minimal tiga kali lipat lebih besar dari tahun lalu. Terus, dua tahun ke depan sudah punya cabang di tempat lain,” ujar Rifki optimis. Dielusnya pundak Bunda dengan lembut.
“Terus, kamu menikahnya kapan?” Bunda menatap dengan pandangan memelas.
“Ya nanti, Bun. Kalau sudah ada calonnya,” seru Rifki acuh. Ia mengangat tangannya menyerupai gerakan orang sholat dan pergi ke mushola di samping kafe. Bunda membuntutinya sambil cemberut.
Usai sholat, Rifki biasa menggantikan Dion. Memberikan kesempatan pada kasirnya yang lulusan SMK Keuangan itu untuk menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta.
“Mas Rifki, Farah makan nasi putih, cah kangkung cumi, ayam goreng kunyit dan minumnya fresh melon. Berapa?” seorang gadis berambut lurus sebahu sudah berada di depannya, begitu Rifki berdiri di belakang meja kasir.
Di belakang Farah ada empat gadis lain yang berebut ke depan lebih dulu.
“Dua puluh lima, Farah. Terima kasih.”
Rifki menerima uang lima puluh ribu dari tangan Farah, membuka laci mesin penghitung lalu mengangsurkan kembalian. Tanpa senyum, hanya wajah yang dibuat seramah mungkin.
Selanjutnya giliran Desti, Vero, Torry, dan seorang gadis anggota baru kelompok itu yang tidak menyebutkan namanya.
“Saya nasi goreng seafood,” ucapnya pendek. Kepalanya lebih banyak menunduk.
“Minum?” Rifki bertanya singkat. Mengamati gadis yang menurutnya aneh itu.
“Enggak, saya bawa air sendiri,” jelasnya, kali ini memandang ke depan tapi bukan menatapnya. Rifki geli mendengar penjelasan si gadis. Enggak usah bilang, kali, serunya dalam hati.
Setelah membayar lunas tagihannya dan mengucapkan terima kasih, para gadis itu pun pergi. Hingga di pintu keluar, mereka masih beberapa kali menengok ke arahnya, kecuali seorang gadis yang sedari tadi terlihat acuh.
Rifki mengalihkan perhatiannya pada sepasang pelanggan yang sudah berdiri di depannya. Menghitung jumlah tagihan dan melakukan tugasnya sebagai seorang kasir.
oOo

Malam kian larut ketika Rifki mengunci kafenya. Ia melakukan gerakan membuka pintu beberapa kali, memastikan diri bahwa pintu jati itu sudah tertutup rapat. Oakley di tangan menunjukkan pukul sebelas lewat dua menit. Rifki menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.
Setelah bersalaman dengan Pak Tris, satpam pertokoan, ia pamit dan berjalan menuju parkir. Bergegas ia membuka pintu Toyota Corolla keluaran 1985. Mobil pertama keluarganya itu sengaja ia pertahankan dan tetap dipakainya. Ia menolak tawaran Ayah untuk mengganti mobilnya dengan yang lebih baru.
“Nanti saja, Yah…, kalau kafe kita sudah makin besar, insya Allah, Rifki akan mengganti dengan uang hasil keringat sendiri,” ucapnya malam itu, penuh keyakinan. Ayah tersenyum melihat anak lelaki satu-satunya itu. Sementara Bunda malah mengomel, khawatir dengan keselamatan anaknya karena kondisi mobil yang sudah semakin tua.
Semua pembicaraan mereka malam itu menjadi pemacu semangatnya, hingga lelah tak pernah ia rasa.
Kini Rifki sudah menyusuri jalanan kota Malang, berteman suara Koko, sahabat sekaligus penyiar radio favoritnya.
Melihat perkembangan Dear dua bulan ini, Rifki semakin yakin bahwa ia mampu mewujudkan impiannya sesuai target. Hentakan suara The Script featuring Will. I.Am seolah mewakili keyakinannya. Di dalam mobil putih kesayangannya, Rifki ikut bernyanyi.

You can throw your hands up
You can beat the clock
You can move a mountain
You can break rocks
You can be a master
Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself

Standing in the hall of fame
And the world's gonna know your name
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)

Rifki tidak pernah menyalahkan keluarga dan kawan-kawannya yang meragukan keputusannya untuk mengelola usahanya sendiri. Resiko berkarier di luar sana memang lebih kecil. Ia pun tak perlu bekerja sekeras sekarang. Tapi keputusannya sudah bulat. Dan ia akan membuktikan pada dunia, bahwa suatu hari, ia akan dikenal orang.
Rifki memperlambat laju mobilnya. Ia biarkan beberapa kendaraan mendahuluinya. Saat-saat seperti ini, adalah waktu santai buatnya. Di persimpangan, Rifki memilih berbelok ke kanan, melalui Jalan Ijen. Rute yang biasa ia ambil jika ingin sampai ke rumah lebih lama.
Beberapa meter memasuki tempat yang biasa dijadikan lokasi Malang Tempo Doeloe itu, Rifki menghentikan mobilnya. Ia seperti mengenali sosok yang sedang berdiri sambil mendekap map, di pinggir jalan di depannya.
Rifki memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat gadis bertubuh semampai, berbaju hijau dan mengenakan rok hitam panjang itu.
“Oh iya! Dia kan salah seorang anggota geng ceriwis!” pekiknya, “ngapain dia di sini? Malam-malam begini? Bukannya kantornya dekat Dear?” tanyanya pada diri sendiri.
Refleks Rifki meminggirkan mobilnya, mematikan mesin dan turun.
“Kasihan. Pasti angkot yang ditumpanginya balik ke rumah terus dia disuruh cari angkot lain. Dasar!” rutuk Rifki. Bergegas ia melangkah mendekati gadis berkulit putih itu.
“Ehm, Mbak…, Mbak yang di kantor akuntan publik dekat kafe Dear, kan? Yang tadi siang makan bareng teman-teman Mbak di sana?” tanya Rifki langsung.
Perempuan itu mengangguk cepat hingga rambutnya jatuh menutup dahi dan sebagian matanya. Buru-buru perempuan itu segera membetulkan letak rambutnya.
“Ehm…, mengapa malam-malam begini masih di sini?” tanya Rifki penasaran.
“Angkot saya pecah ban,” tuturnya dengan suara yang sangat lirih. Jika tangan perempuan itu tak menunjuk ke arah angkot di depannya, Rifki pasti bertanya lagi untuk memperjelas pendengarannya.
“Rumahnya di mana?” Rifki bertanya lagi, “Ehm, maksud saya, bareng saya aja,” katanya kemudian. Entah mengapa, ia menjadi sedikit gugup.
“Di daerah Arjosari, Mas,” gadis itu menjawab tanpa mengangkat wajahnya.
“Di sini angkot susah, Mbak. Apalagi jam segini. Kebetulan rumah saya juga di daerah sana. Yuk, ikut saja saja,” ajak Rifki. Pada saat yang bersamaan, datang seseorang bermotor.
“Reha! Kok kamu masih di sini?” tanyanya, tanpa memedulikan Rifki.
“Dewa?” Reha terbelalak.
“Eh, malah bengong. Kenapa atuh?” Dewa tak sabar melihat sikap Reha.
“Iya, angkotku pecah ban,” jawab Reha lebih kencang.
“Ayo atuh, bareng aku aja!” tanpa meminta persetujuan, Dewa langsung mengulurkan helm ke tangan Reha. Beberapa saat Reha tampak bimbang, sekilas ia bertatapan mata dengan Rifki tapi kemudian duduk di jok  motor Dewa. Dua orang itu pun berlalu begitu saja, meninggalkan Rifki yang terdiam sendiri.
Rifki kembali ke mobil, menyalakannya lalu menginjak gas kuat-kuat.
oOo  

Reha menepuk pundak Dewa sesaat sebelum masuk ke gang rumahnya.
“Turun sini saja, Wa,” teriaknya. Dewa berhenti, tanpa mematikan mesin motornya.
“Loh, rumah kamu, kan, masih jauh, Re. Lagian gang kamu, kan, lebar. Jadi motor boleh masuk, kan?” tanyanya protes. Sepertinya ia masih ingin membonceng Reha lebih lama.
“Enggak, Wa. Aku ada perlu ke rumah Budhe. Dekat sini, kok!” jawabnya. Kali ini Reha terpaksa harus berbohong. Ia sangat tahu watak Dewa yang suka ngotot.
“Malam-malam begini? Yang bener, lu!” sergah Dewa, seolah tahu kebohongan Reha. Tanpa menatap mata Dewa, Reha mengangguk cepat.
“Euleuh, eta poni! Dipotong atuh, Neng. Apa enggak sakit nyocok mata begitu?” ujarnya sok perhatian.
“Aku pamit dulu, ya, Wa. Thank’s a lot tumpangannya,” ucap Reha, langsung membalikkan badannya. Ia pura-pura tak mendengar panggilan Dewa.
oOo

Rifki: Don’t judge a book by its cover
Hari ini capek banget! Kafe penuh hampir sepanjang waktu. Alhamdulillah. Tapi badan rasanya mau rontok. Aku harus kembali mengagendakan fitness supaya stamina tetap oke. Berarti minggu depan harus telepon Koko untuk fitness bareng. Noted!
Oh iya, hari ini, ada yang berbeda dengan geng ceriwis? Anggotanya bertambah satu. Keuntungan buat kafeku pastinya, karena kemungkinan besar pelanggan kami juga nambah.
Ngomong-ngomong soal anggota baru, barusan aku ketemu dengan dia.
Di Ijen, semalam ini, sendirian.
Melihat sikapnya, tadinya kupikir ia pemalu. Gadis yang menganut paham no pacaran. Lihat pakaiannya yang tertutup, enggak mau menatap lawan bicara, suara lembut, dan selalu nunduk. Apa coba?
Tapi begitu tuh cowok datang, eh, tanpa basa basi dia langsung ngacir naik motor. Padahal aku sudah datang lebih dulu, menawarkan diri untuk ngasih tumpangan. Hmm, jadi, don’t judge a book by its cover, ok?
Baiklah, lupakan tentang dia.
Kita bicara soal Dear sekarang.
Baru pertengahan bulan, penjualan reguler sudah melebihi total penjualan bulan lalu.  Ini pasti akan bertambah jika katering yang pembayarannya akhir bulan dimasukkan juga. Alhamdulillah. Syukur Ya Allah!
Artinya, promosi yang gencar dilakukan dua bulan belakangan mulai menunjukkan hasil. Pamflet yang disebar di pertokoan, iklan di radio yang dibaca si Koko, juga testimoni penggemar di facebook dan twitter.
Semoga yang kayak begini bisa terus bertahan sampai tiga bulan ke depan dan seterusnya. Biar bisa memenangkan pertaruhan dengan Ayah. Soal keinginan Ayah, sebenarnya aku juga pengen, sih, kuliah lagi. Tapi aku maunya biaya sendiri. Syukur kalau ada beasiswa. Kalau tidak, aku mau kuliah setelah Dear bisa dilepas dan dikendalikan dari jauh. Semoga dua tahun ke depan semua itu bisa terwujud, aamiin.
Nah, sekarang soal taruhan. Tadi siang selepas sholat, tiba-tiba Bunda dapat ide yang menggelikan. Bunda ikut-ikutan Ayah, mengajakku taruhan. Bunda bilang, kalau dalam satu tahun ke depan aku belum menikah, atau minimal memperkenalkan seorang calon menantu pada beliau, maka Bunda akan langsung turun tangan. Whoa! Ha ha ha. Bunda ada-ada saja. Padahal dua tahun ini aku masih pengen konsentrasi mengurusi Dear.
Nanti aja, deh, dipikir soal permintaan Bunda. Sekarang rehat dulu, biar besok bisa bangun lebih pagi.
oOo

Reha: a hectic day!
Hari ini aku pulang telat. Banyak pekerjaan yang harus kutangani di kantor karena Melur sakit. Haduuh, tuh anak. Kalau ninggalin pekerjaan kira-kira, deh. Masak ditumpuk begitu? Pas menjelang deadline, pake sakit pula. Tapi enggak apa, deh. Toh semua sudah kelar sekarang. Ambil baiknya saja. Aku kan jadi nambah pengalaman, he he he.
Nah, pas pulang, angkot pecah baaann! Hiks, rasanya campur aduk, antara kasihan dan sebel. Kasihan karena pak sopirnya sudah sepuh. Enggak tega lihatnya. Tapi sebel juga, sudah tahu bannya halus begitu, eh, enggak diganti juga. Dah gitu enggak ada cadangan ban, pula! Nekat kan? Akhirnya kami semua diturunkan di Ijen. Diturunkan hanya dengan permintaan maaf. Duh! Karena kasihan, kami semua membayar penuh meski belum sampai tujuan.
Ijen malam-malam begitu, tahu sendiri, kan, kayak apa? Sepi, bo! Angkot munculnya kayak jaelangkung, sesuka hati mereka. Sejam satu pun, enggak ada jaminan!
Dah gitu, enam penumpang yang bareng aku langsung ngontak keluarga dan teman masing-masing. Dalam hitungan menit, semua sudah dijemput. Tinggallah aku sendiri. Celingak celinguk kayak kambing congek. Pengen nangis rasanya! Mau nelepon, enggak tahu ke siapa. Ke adik-adik di rumah, mereka semua pasti dah molor jam segitu. Nelepon cowok, enggak punya. Teman…, para cewek itu, sama parnonya sama aku. Pasti enggak ada yang mau, deh, jemput aku di sana.
Untunglah, akhirnya datang seseorang. Dia nanya-nanya sok akrab gitu. Kayak udah pernah ketemu. Dan dia tahu, lho, aku kerja di Bu Anita. Dia bilang, kantorku dekat kafe Dear. Pasti dia salah seorang pelayan di sana, deh! Ketahuan, mobilnya butut, hi hi hi.
Nah, pas aku mau jalan ke mobil putihnya, ada Dewa. Itu tuh, asisten Pak Satria, orang bagian non-atestasi1). Tadinya aku bingung antara ikut tuh cowok apa Dewa. Tapi kupikir, yang lebih kukenal, kan, si Dewa ini. Lebih baik aku pulang bareng dia. Daripada diapa-apain sama tuh cowok, hiii, serem!
Tapi pas di jalan, di atas motor Dewa, aku jadi kepikiran sama dia. Wajahnya melas banget saat aku tinggalkan. Kayak gimana, gitu. Aku mungkin salah, kali, ya. Enggak pamitan pula sama dia. Wah, pasti dia sudah berprasangka buruk, deh, sama aku. Ah, biarin lah. Toh enggak akan ketemu ini. Besok dan seterusnya, aku janji, enggak akan bangun telat lagi. Biar bisa masak pagi-pagi dan bawa makan siang dari rumah. Jadi enggak perlu ke kafe untuk makan siang. Jadi…, enggak perlu ketemu dia lagi. Beres, kan?
Nah, soal Dewa sekarang.
Aku sekarang menyesal banget karena ikut dia tadi. Pasti dia dah menyangka yang bukan-bukan. Jangan-jangan, dia kira aku suka sama dia. Ih, amit-amit!
Kata Sasya, teman seruangannya, Dewa tuh playboy kelas teri. Sering nerima telepon dari cewek yang berbeda. Kasihan para cewek itu. Kok mau-maunya mereka digombalin sama Dewa, ya?  Kata Sasya lagi, dia paling penasaran sama cewek cuek kayak aku. Aku? Wahaha, aku bukan cuek. Emang bawaan dari sononya, ya begini, ini. Susah, ya, kalau sudah bawaan orok. Mau bisa narik perhatian cowok lain aja, rasanya kakuuu banget. Ngomong depan cowok, rasanya kelu.
Kayak tadi siang, waktu ke Dear. Semua ngomongin Rifki, pemilik kafe. Katanya keren, cool! Si pendiam yang kalau senyum, bisa bikin cewek mau pingsan.
Torry mengajak kami menunggu sampai saatnya Rifki menggantikan kasirnya. Bener, deh. Lalu mereka pun berebut pengen duluan. Tadinya aku mau coba-coba ikutan, tapi kupikir lagi, enggak ada manfaatnya. Ya udah, lebih baik aku antri paling belakang. Lagian, cowok kayak Rifki, pasti sukanya sama cewek perfect. Enggak mungkin suka sama aku yang begini, ho ho ho.
Akhirnya, karena malas diomongin ikut nyari perhatian si Rifki, pas di depan kasir aku nunduk aja. Lihat depan pun, enggak lihat dia. Aku cuma ingat kalau Rifki tadi berkemeja biru, terus rambutnya cepak. Tinggi besar, kayak Almarhum Mas Reno.  
Loh, kok aku malah ngomongin orang Dear lagi, sih?
Udah, ah! Bobo!
oOo

1)      Jasa non-atestasi, mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi (Wikipedia).

Thursday 7 February 2013

Plot BAB I dan BAB II


BAB 1
Rifki mengamati meja para pelanggan dari sudut kacamata minusnya. Lelaki bertubuh tinggi besar itu segera meminta para pelayan membersihkan beberapa meja yang terlihat masih kotor, bekas pelanggan sebelumnya. Meski hujan, siang ini kafe Dear cukup laris. Beberapa orang bahkan memanfaatkannya untuk berlama-lama, menjauhi kesibukan kantor dengan alasan hujan.
Sebagai seorang lulusan terbaik di sebuah universitas ternama di Jakarta, banyak yang menyayangkan keputusan Rifki untuk mengelola kafe ini. Terlebih teman-teman wanita yang selalu berusaha mencari perhatiannya. Mereka berpendapat bahwa di luar sana, Rifki bisa berkarier lebih baik. Sementara Ayahnya yang seorang Profesor malah ingin agar Rifki melanjutkan kuliah. Tapi tekad Rifki sudah bulat. Ia merasa, Dear memiliki prospek yang sangat cerah jika dikelola dengan baik. Ia akan membuktikan pada dunia, bahwa pilihannya kali ini tidak salah.

BAB II
Reha menarik napas panjang sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Ketika Bu Dian berpaling, ia menghembuskannya perlahan agar tak bersuara. Meeting manajemen sedang berlangsung alot hingga diperkirakan akan melewati jam makan siang. Itulah sebabnya ia harus ke kafe langganan untuk membeli makanan. Pak Maman, office boy yang biasa bertugas sedang berhalangan hadir. Sementara Pak Daud, office boy lainnya sedang sibuk membersihkan rumput di taman sekitar kantor. Dilihatnya Pak Dodo, sopir andalan kantor sudah siap dengan kunci di tangan.

Letak Kafe Dear tak jauh dari kantor tempat Reha bekerja. Meski demikian, Reha memilih untuk selalu membawa makan siangnya dari rumah. Ia malas bergabung untuk makan di kafe itu meskipun para gadis di kantornya sibuk membicarakan Rifki, sang pemilik kafe.
Sesudah memilih makanan dan meminta pelayan membungkusnya sebanyak lima belas bungkus, Reha pergi ke meja kasir. Seorang lelaki berkacamata berdiri di sana. Lelaki berkulit bersih itu tampak cekatan menekan angka di mesin penghitung, setelah mendengar Reha menyebutkan beberapa nama masakan.

Tiba-tiba Reha terlihat panik. Beberapa kali diperiksanya tas dan dompet tapi uang yang ia cari tidak ada. Ia menepuk dahinya sendiri saat ingat bahwa ia belum jadi mengambil uang dari Kak Dewi, kasir kantor. Seusai mengambil tas, ia malah langsung pergi dan lupa kembali ke Kak Dewi. Reha pucat. Uang pribadinya tak akan cukup membayar tagihan sebanyak itu. Tanggal tua begini, harta Reha hanya tersisa untuk ongkos transport. Dilihatnya antrian semakin panjang di belakang. Seperti mengerti, lelaki itu menuliskan nota, lalu mengulurkannya ke Reha. Meminta Reha datang lagi setelah mengambil uang. Reha membaca nota itu sekilas. Ada nama yang ia kenal di bawah tanda tangan dan stempel kafe. Rifki Rahardian. Sebelum berbalik pulang, Reha sempat melirik lelaki itu sekali lagi. Di depan pintu keluar, ia kembali menepuk dahinya karena lupa mengucapkan terima kasih.